I am a wife, I have a child, I’ve worked, and I am a person with HIV…
Tak
mudah bagi seorang ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) untuk membuka diri. Tapi
dengan penuh rasa percaya diri saya berani untuk membuka status di depan
keluarga, teman, bahkan atasan di tempat saya bekerja. Saya Putri Winata (31),
pernah menduduki posisi Hall Restaurant
Manager di salah satu restoran besar di Jakarta, dan juga Ibu dari satu
orang anak. Karena kekebalan tubuh berkurang akibat virus, saya memang mudah
terkena penyakit, tapi saya bukan seorang pesakitan.
POSITIF
TERINFEKSI
Banyak yang beranggapan, HIV (Human Immunodeficiency Virus) menular
karena seseorang melakukan seks bebas, atau tindakan maksiat lainnya. Mereka
salah, karena saya yang berpikir untuk melakukan hal-hal tersebut pun tidak, bisa
juga tertular. Semua terungkap ketika saya hendak melaksanakan operasi amandel
di 2006. Saat cek darah dan tes VCT (Voluntary
Counseling Test), ternyata dokter memberitahu bahwa dalam tubuh saya
terdeteksi positif mengandung virus HIV. Pada saat itu saya belum paham apa itu
HIV/ AIDS, dan saya tidak kaget karena tidak terasa sakitnya. Tidak lama, suami
saya mulai sakit-sakitan. Dokter membuka fakta bahwa suami saya itu sudah
terinfeksi sejak lama, dan saya pun tertular dari suami. Dalam keadaan sekarat,
suami saya mengaku bahwa dulu ia pernah mengonsumsi narkoba menggunakan jarum
suntik. Orang pertama yang saya jadikan tempat mengadu adalah Ibu. Perasaan
sedih dan tangis menghiasi perbincangan kami kala itu. Tetapi tak ada
penyesalan dari kami berdua, dan tidak ada yang patut disalahkan. Ibu justru meminta
saya untuk tetap mendukung suami.
Belakangan, saya baru tahu kalau orang
tua suami saya sengaja menutupi tentang kondisi kesehatan anaknya. Bahkan, saya
sempat diminta bercerai karena mereka malu. Tapi saat itu saya dan suami
sepakat untuk menghadapinya berdua. Bukannya makin mendukung kami, orang tua
suami saya justru menjauhi. Yang paling membuat saya sedih adalah ketika
menyaksikan suami saya dalam keadaan sekarat, orang tua kandungnya pun tak sudi
untuk menyentuhnya. Pada 2007, suami saya akhirnya meninggal dunia karena
tertekan dan virus HIV menjadi makin galak. Sepeninggal suami, saya mulai
depresi dan selama dua bulan mengurung diri di kamar. Tubuh yang tadinya gemuk,
menjadi kurus kering. Saudara-saudara berdatangan, dan tak satu pun yang
berhasil membujuk saya untuk keluar. Tapi setelah Ibu saya menangis, saya tidak
tega mendengarnya, dan akhirnya saya keluar dari kamar. Sejak saat itu juga
saya memantapkan diri untuk ‘bangun’ dan berusaha untuk membanggakan orang tua.
SIMPATI,
EMPATI, DAN JATUH HATI
Lepas dari masa-masa kelam itu, saya
mengikuti beberapa penyuluhan dan sering bolak-balik ke puskesmas. Saya pun berkenalan
dengan seorang lelaki aktifis narkoba di puskesmas tersebut. Karena dia ingin
tahu mengenai HIV/ AIDS, akhirnya ia belajar sebagai relawan, ikhlas dan tidak
memikirkan imbalan nominal. Selang waktu berjalan, lelaki tersebut makin aktif
mencari tahu bagaimana caranya untuk bisa hidup dengan ODHA. Suatu waktu, saya
pun iseng mengungkapkan keinginan saya untuk memiliki anak. Tiba-tiba, dia
menyatakan kesediaannya untuk menjadi bapak dari anak-anak saya. Saya senang,
karena dia juga berkata, “Kamu di mata saya tetap normal.” Saya benar-benar
tersanjung. Akhirnya kami menikah pada 2008. Saya selalu berdoa kepada Tuhan dan
benar-benar menjaga sekali agar dia tak tertular virus dengan selalu
berkonsultasi ke dokter.
Satu bulan setelah menikah, saya
mendapat kabar bahagia bahwa saya hamil. Saat itu tak ada rasa khawatir sama
sekali, justru suami kedua saya sangat senang dan memeluk erat tubuh saya. Kami
berdua lalu antusias untuk mengorek informasi bagaimana untuk mencegah
penularan virus ke janin. Akhirnya saya mendapatkan rekomendasi dari dokter
untuk mengikuti program PMTCT (Preventing
Mother-To-child Transmisson of HIV). Jadi, selain konsultasi dan menjalani
cek darah putih, saya tetap harus mengonsumsi obat ART (Anti Retroviral Therapy).
Bulan Oktober 2008 anak pertama saya pun lahir dalam keadaan sehat,
melalui proses bedah sesar. Tapi yang sangat membuat saya sedih adalah saya
tidak dapat memberikan ASI eksklusif untuknya. Satu bulan pertama, anak saya
harus diberi puyer ARV (Antiretroviral),
dan setelah lima bulan saya bawa untuk menjalani tes darah. Hasilnya virus
tidak terdeteksi, dan artinya anak saya tidak tertular. Dokter tempat saya
biasa berobat justru mendukung saya untuk hamil lagi, dan sekarang saya sedang
hamil lima bulan untuk anak kedua.
DITERIMA
KERJA KARENA MAMPU
Perjalanan karier saya cukup berliku.
Dulu, dua hari setelah perusahaan tempat saya bekerja mengetahui bahwa almarhum
suami pertama saya meninggal karena HIV, saya diminta untuk berhenti secara
paksa, seolah-olah saya yang mengajukan surat pengunduran diri. Padahal, saat
itu saya tidak melakukan kesalahan yang merugikan perusahaan. Di perusahaan
selanjutnya, diskriminasi kembali terjadi. Kali ini karena ditanya mengapa
sering ijin istirahat dan berobat, saya pun mengakui status saya sebagai ODHA
kepada seorang teman. Beberapa bulan kemudian saya di-cut dengan alasan habis kontrak, padahal saya tahu masa kontrak
saya masih lama. Karena itulah saya jadi sering sekali berpindah-pindah kerja.
Tapi saya nggak mau ribut, saya nggak mau cengeng, dan tetap positive thinking. Setelah bergabung di IBCA (Indonesian Business Coalition on AIDS) pada 2009 bersama suami,
saya mendapat banyak link perusahaan
yang commited untuk mempekerjakan ODHA.
Sampai akhirnya ketika saya diterima bekerja di perusahaan properti, saya
bicara jujur kepada atasan bahwa saya seorang ODHA. Untungnya saat itu saya
mendapat atasan yang baik, dia tidak melihat status, tetapi menilai dari
kinerja dan performance saya yang
memuaskan. Sayangnya karena jam kerja yang panjang dan harus tetap menjaga
kestabilan stamina, saya pun keluar. Selanjutnya, saya bekerja sebagai Hall Restaurant Manager di
sebuah resto terkenal di Jakarta, dalam kondisi mereka tahu status saya. Tapi setelah
hamil dua bulan untuk anak yang kedua, saya memutuskan untuk resign. Bagaimanapun saya tidak boleh
egois.
AKTIF
DAN CANTIK
Karena sudah tidak bekerja, saya
kembali aktif sebagai relawan di salah satu LSM untuk memberikan penyuluhan ke
sekolah-sekolah tentang HIV/ AIDS. Ketika melakukan aksi penyuluhan, para
siswa yang menjadi peserta pada saat itu justru senang dan langsung memeluk
saya seusai acara. Mereka mengacungkan jempol dan berebut untuk foto bersama.
Dan setiap saya menjadi pembicara untuk para ODHA, mereka yang sedih dan tak
bersemangat seketika melotot dan menangis haru mendengar pengakuan saya. Mereka
mengaku senang masih memiliki harapan untuk hidup secara normal.
Meski sudah lima tahun saya mengidap
HIV, banyak yang bertanya-tanya mengapa saya tetap aktif dan terlihat cantik. Bahkan,
karena saya dan suami sering bolak-balik ke IBCA, mertua saya sering mendapat selentingan dari orang tentang status
kami. Tapi, mereka tidak percaya karena melihat kondisi kami berdua yang sehat
dan aktif. Biasanya, ODHA tubuhnya semakin lama akan semakin kurus, kusam, dan
lebam-lebam. Itu karena dia sudah mengalami infeksi oportunistik TBC
(Tuberkulosis), dan bisa juga karena efek obat yang tidak cocok. Sejauh ini
saya tidak ada masalah mengonsumsi ARV. Efeknya hanya terlihat sedikit pucat,
karena sel darah merah diserap oleh sel darah putih. Selain menjaga pola makan,
istirahat yang cukup, dan selalu berpikir positif, saya juga rajin untuk cek
dan konsultasi ke dokter. Ketika obat sudah hampir habis, saya langsung ke
Rumah Sakit Kramat 128 untuk cek kondisi mata, mulut, paru-paru, dan lambung. Seorang
ODHA juga akan sangat mudah terkena penyakit, bahkan akan menjadi sangat parah
karena sistem kekebalan yang tidak baik. Maka dari itu, saya sangat menjaga
kondisi badan agar tetap fit agar tidak mudah terkena penyakit. Kabar baiknya,
Agustus kemarin saya cek darah, dokter memberitahu bahwa virus HIV sudah tak
terdeteksi lagi di tubuh saya. Saya benar-benar takjub.
JAUHI
VIRUSNYA, BUKAN ORANGNYA
Masih banyak ODHA yang belum bersedia
membuka diri karena takut dengan reaksi yang akan keluar dari orang di
sekitarnya. Saya memohon dengan sangat masyarakat bisa menerima kondisi ODHA.
Karena penyebab utama seorang ODHA itu tutup usia bukanlah semata-mata karena
virus HIV, tetapi juga karena adanya perasaan tertekan akibat dari respon
masyarakat. Perlu diketahui juga, penularan virus HIV itu terjadi karena adanya
media darah, cairan semen, cairan vagina, dan ASI (Air Susu Ibu). Pintu
masuknya hanyalah luka terbuka dan mendalam, jadi kalau tidak ada pintu
masuknya, dalam 10 detik virus tersebut akan mati. Tak ada salahnya merangkul
dan menerima kami selama masih bisa produktif dan aktif. Dan untuk teman-teman
sesama ODHA, jangan patah semangat, karena kita masih diberi waktu untuk
menikmati hidup. Jangan pula berpikiran untuk menularkan kepada orang lain.
Kunci untuk bertahan adalah satu: be
positive!
“Selama tangan, kaki, mulut, dan
pikiran masih bisa berfungsi, apa salahnya kita gunakan dengan baik?” -Putri Winata-
Pada saat saya mewawancarai Putri, ia sedang hamil delapan bulan. Ia sangat menjaga statusnya ini dan meminta saya untuk mengirimkan majalah yang berisi artikel ini ke rumah orangtuanya, karena tidak ingin keluarga suaminya tau akan statusnya sebagai pengidap virus. Kini, anaknya tumbuh sehat dan dokter sudah memberikan kabar baik bahwa virus HIV dalam tubuhnya sudah tidak terdeteksi lagi. Hingga kini keluarga suaminya juga tidak tau bahwa ia pernah menjadi penderita HIV. Salut untuk narasumber yang kemudian sudah saya anggap sebagai teman, Putri Winata. Selamat telah menjadi ibu.
NB: Anda bisa melihat foto saya dan Putri di majalah CLEO Indonesia edisi Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar