Jumat, 10 Mei 2013

Trip Gunung Nglanggeran-> Goa Pindul-> Kali Oyo -> Tamansari -> Malioboro

Perjalanan saya dan teman-teman komunitas Doyan Jalan berawal dari stasiun Pasar Senen. Biasa lah...namanya backpacker kita cari yang murce-murce aja. Jadilah kita naik kereta ekonomi AC karena waktu pembelian udah keabisan tiket ekonomi. Setelah delapan jam, sampailah kami di Stasiun Tugu Yogyakarta pukul lima pagi. Karena perut lapar, kami pun langsung menyerbu tempat makan terdekat dari stasiun, dan menemukan penjual bubur "Syarifah" yang memang cukup terkenal di Jogja. Sambil menunggu beberapa teman yang menyusul dari Jakarta dengan travel, setelah mobil elf yang kami sewa datang, kami pun memutuskan untuk menunggu sambil berbelanja di sekitar Malioboro dan berwisata kuliner di House of Raminten yang terkenal dengan variasi menu yang unik dengan harga yang bersahabat dan suasana yang njogja banget.
Sekitar tiga jam di House of Raminten, rombongan susulan pun datang dan kami bgerunding sejenak sebelum melanjutkan perjalana ke Gunung Nglanggeran. Pada waktu itu kondisi cuaca sedang tidak bersahabat karena ogja diguyur hujan lebat yang tak kunjung henti. Sekitar satu jam kemudian, hujan mulai reda menjadi rintik-rintik, dan kami sepakat untuk nekat untuk tetap naik ke Gunung Nglanggeran yang kondisi jalannya cukup licin dan teman saya Vani yang tadinya akan menjadi guide pun mengundurkan diri dan berjanji menyusul di Goa Pindul. Oke! Kami pun berangkat ke Gunungkidul.

Ki-ka (Ndha, saya, Suzi, Zaki, Uwi, dan Lala). Foto: Iqy

Gunung Nglanggeran

Di depan pos pintu masuk Nglanggeran. Foto: Ari
Kami sampai di pos pintu masuk sekitar jam lima sore. Mulai mendaki jalanan yang licin, awalnya tidak masalah hingga kami menemukan sebuah batu besar yang harus dipanjat dengan menggunakan tali. Jujur saja, saya merasa kesulitan karena berat badan yang berlebih dan sempat terpeleset, hahaaha.... Tapi untunglah saya berhasil melewatinya.
Hahaha..ini nih batu besar yang dimaksud. Foto: Suzi
Akhirnya sampai puncak juga :))). Foto: Arman

Tantangan terbesar dalam perjalanan menuju puncak adalah hutan yang sudah gelap gulita dan jalan yang licin. Sehingga perjalanan kami terasa lumayan lama. Mungkin kalau kami jalan di waktu terang dan dalam kondisi batu dan tanah yang kering, perjalanan kami akan lebih cepat. Sekitar tiga jam perjalanan, sampailah kami di puncak setelah melewati lima pos pendakian. Beberapa teman mendirikan tenda dan beberapa menyiapkan makanan. Yah...namanya juga di puncak gunung adanya cuma mi instan. Tapi karena lapar berat, hajar aja lah...
Makan malam seadanya. Foto: Ari


Usai makan, saya dan seorang teman bernama Suzi duduk di ujung jurang sambil menikmati lampu-lampu yang berasal dari kota Yogyakarta. Benar-benar cantik. Malam semakin larut Suzi memutuskan untuk tidur duluan. Saatnya memulai kegilaan dengan dua algojo Dolan Ari dan Arman. Memang tak bisa dipungkiri kalau mereka adalah dua sejoli yang diibaratkan seperti gelas dan air. Biasa lah.... kalo sama mereka berdua obrolan pastinya bakal ngalor ngidul dari ngobrolin masalah hubungan percintaan sampe Imron Man ( Watch out...not Iron Man). Memimpikan duduk-duduk sambil ditemani secangkir kopi hingga tengah malam dan bisa tidur di bawah langit yang dipenuhi bintang, saya pun membawa sleeping bag. Malam itu saya berniat tidur di luar tenda dan menunggu bintang keluar dari balik langit yang mendung. Tetapi karena tenda pria sudah penuh , dan ada teman yang lebih membutuhkan, saya pun tidur di dalam tenda saja, dan sleeping bag saya pinjamkan ke teman tersebut.


Saya dan Suzi.
Paginya, pemandangan indah pun menggoda untuk saya nikmati. Langsung saja saya mencari spot di pinggir jurang untuk sekedar duduk menikmati langit yang sediki-demi sedikit semakin terang. Setelah sarapan dan berberes tenda, kami pun turun dari Gunung Nglanggeran dan melanjutkan perjalanan ke Goa Pindul.





Goa Pindul dan Kali Oyo
Teman saya Vani datang menemani kami dan berkat dia pula kami mendapatkan harga yang lebih murah karena dia lumayan dekat dengan pihak pengelola. Jadilah kami masuk dan menikmati obyek wisata cave tubing. Goa Pindul ternyata hanya bisa dinikmati dengan dudul manis di atas ban yang masing-masing diikat dengan tali dan dalam satu rombongan harus saling berpegangan agar tidak ada yang terbawa arus dan terpisah. Menjelang akhir perjalanan di Goa Pindul, kedua teman saya yang iseng berusaha menjatuhkan saya dari ban. Jujur saja, saya bisa sih berenang, tetapi memang sudah sepuluh tahun lebih tidak berenang. Jadi ketika saya terjatuh dari ban renang, saya cukup shock.
Setelah Goa Pindul, spot selanjutnya adalah menyusuri Kali Oyo. Di sungai ini saya cukup senang karena mendapatkan pengalaman baru. Di sini juga keberanian saya untuk menyentuh air lagi kembali. Karena saya cukup trauma dengan berenang setelah menyaksikan teman dekat saya terseret ombak di Pantai Teluk Penyu ketika berenang beberapa tahun lalu. Saya yang awalnya tidak berani turun dari ban renang pun berani melepasnya dan berenang dengan pelampung yang melekat di badan. So fun!








Pantai Pok Tunggal
Karenahari sudah sore, kami pun memutuskan untuk bermain di salah satu pantai saja yang direkomendasikan oleh Vani. Mendaratlah kami di Pantai Pok Tunggal. Dinamakan Pok Tunggal karena ada satu tanaman bernama pohon Pok yang hanya ada satu di pantai tersebut. Pantai ini sebenarnya cukup recommended karena bisa buat berenang dan belum terlalu ramai seperti Pantai lainnya yang sudah seperti pasar. Sayangnya ketika sampai disana air sedang surut, dan teman-teman tidak bisa berenang. Mereka pun bermain di sekitar karang dan sebagian ada yang naik ke bukit di samping pantai. Setelah puas, kami pun kembali ke Jogja dan menikmati kopi joss di samping stasiun Tugu. Tubuh sudah lelah, kami menuju tempat peristirahatan.

Yayasan Sayap Ibu
Paginya, kami berkunjung ke Yayasan Sayap Ibu untuk menyerahkan sumbangan Dolan Charity dan bertemu dengan adik-adik yang tinggal di yayasan. FYI, yayasan ini merawat anak-anak bayi hingga balita yang cacat atau dibuang orangtuanya. Kasian ya. Ketika bermain bersama mereka saya benar-benar merasa bersyukur dan berjanji akan merawat dengan baik anak saya nanti. Jika pulang ke Jogja, saya ingin berkunjung kesana lagi. Karena jam kunjung sudah habis, kami pun berfoto bersama dan keluar dari yayasan. Anak-anak kebetulan sudah lapar jadi saya antarkan mencari warung makan terdekat.

Keliling Jogja
Hari terakhir agenda kami adalah menyambangi Tamansari, Pasar Beringharjo dan Malioboro. Karena transportasi di Jogja agak susah, kami harus berjalan cukup jauh untuk bisa mencapai shelter transjogja menuju Malioboro. (Saran saya, jika ada duit mending nyewa elf aja untuk menghemat waktu). Sesampainya di Malioboro kami langsung menyewa delman untuk menuju Tamansari. Beberapa jam berkliling di Tamansari, kami pun diantarkan delman kembali ke Malioboro dan langsung berburu oleh-oleh di Pasar Beringharjo. Karena waktu tidak mencukupi jika membeli bakpia langsung ke pabriknya, saya dibantu oleh Arman yang merelakan diri membelikan teman-teman bakpia, sedangkan saya mengantarkan teman-teman mencari oleh-oleh batik dan gudeg. Setelah mendapatkan semuanya, kami pun pulang dengan transjogja. Karena haru sudah mulai gelap, saya takut kami ketinggalan kereta karena dalam pikiran saya Jogja bisa saja macet kalau di masa-nasa liburan. Jadilah saya mengajak teman-teman naik taksi dari sebrang shelter (Ambarrukmo Plaza) dan mampir ke tempat peristirahatan untuk mengambil tas, langsung menuju stasiun Lempuyangan. Ternyata jalan tidak terlalu macet dan kami sampai di stasiun Lempuyangan jauh sebelum jam keberangkatan. Fyuh…. *lega

Overall, trip jogja kali ini mungkin terasa biasa saja bagi orang lain. Tapi bagi saya yang merasa bertanggungjawab atas hajat hidup orang banyak, rasanya deg-deg ser. Apalagi sewaktu perjalanan menuju Lempuyangan, saya sudah menghitung budget yang harus dikeluarkan untuk mengganti tiket teman-teman yang ketinggalan kereta T.T.