Selasa, 26 Maret 2013

Just Thinking…..blablabla



Actually….i don’t know what’s on my mind now…yeah….I feel so numb and there’s one condition that makes me smile all day long. Maybe it’s love….but maybe it’s just some candies on my breakfast plate. Damn….honestly I don’t like to say it…but it’s like gigantic tumor on my head. Every single day I got the path, my cheek blushing and I feel like…smiling on happiness. Maybe it’s not..but why everybody judging me? Alright! Alright! Sometimes I feel so happy, but a few second later, I wipe it outta my head. Errr..looks like I’m going crazy now. Whatever…..from now on…I promise to myself, I don’t want to falling in the same hole again…and walk down a different street. Fighting!

Kamis, 14 Maret 2013

Tour De Garut (Candi Cangkuang-> Pantai Sayang Helang, Pantai Sentolo, Pantai Rancabuaya)


Beberapa waktu yang lalu, saya dan teman-teman dari komunitas Doyan Jalan (@doyanjalanjalan) menyambangi kota Garut dan berkunjung ke beberapa tempat, diantaranya Candi Cangkuang, Pantai Sayang Helang, Pantai Sentolo, dan Pantai Rancabuaya. Karena perjalanan cukup jauh, kami putuskan untuk berangkat malam hari setelah pulang kerja di Jumat malamnya. Sekitar pukul 23.00 WIB kami berangkat dari meeting point di Plaza Festival Kuningan dan sampai di Cangkuang sekitar pukul 03.00 WIB.

Candi Cangkuang
Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa dimana candi tersebut ditemukan. Sedangkan desa Cangkuang sendiri berasal dari nama pohon yang tumbuh subur di sekitar candi, namanya pohon Cangkuang. Termasuk tanaman jenis pandan (Pandanus Furcatus), jaman dulu daunnya sering dipakai untuk membuat tikar maupun untuk pembungkus gula aren.
Pada waktu itu kami pikir bisa masuk ke area candi karena gerbangnya terbuka, ternyata untuk menuju ke candi kami masih harus menyebrangi Situ Cangkuang. Di pinggir situ terdapat sekitar 24 rakit berbentuk rumah yang berjejer rapi. Setelah bertanya pada warga yang lewat, ternyata kami baru bisa menyebrangi situ pada pukul lima pagi. Karena ngebet mengejar sunrise di Cangkuang, kami pun memutuskan untuk tidur sejenak di mobil menunggu pengelola datang.
Tepat setelah azan subuh berkumandang, usai menunaikan kewajiban ibadah, kami langsung menego harga rakit untu menyusuri situ. Tarif per orang biasanya Rp 4000,- tetapi harus menunggu rakit penuh hingga 20 orang. Tetapi berhubung pada waktu itu kami hanya berenam, terpaksa kami harus membayar Rp 80.000,-. Setelah melalui negosiasi, akhirnya saya dan pengayuh rakit sepakat di harga Rp 50.000,-. Sebenarnya harga tersebut masih mahal, tapi kalau dipikir-pikir kasihan juga si pengayuh rakit karena uang yang ia peroleh tersebut nantinya masih dipotong iuran ke pengelola dan satu pengayuh hanya boleh membawa rakit sekali dalam sehari. Hitung-hitung amal lah…
Deretan rakit di Situ Cangkuang. (Foto: Sari)

Terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, situ ini dikelilingi gugusan gunung di empat penjuru mata anginnya, yaitu Gunung Mandalawangi, Gunung Kaledong, Gunung Halimun, Gunung Batara Guru, Gunung Guntur dan Gunung Cikuray. Deretan gunung ini menjadikan situ Cangkuang terlihat sangat cantik. Pastinya saya tak mau melewatkan kesempatan berfoto di atas rakit dong :D.
Di belakang saya itu Gunung Cikuray. (Foto: Dokumen pribadi)
(Foto: Dokumentasi Zaki)

Ketika menyebrangi situ saya melihat sekelompok bunga teratai yang sedang bermekaran. Sayangnya, bunga teratai ini kurang terawat and bercampur dengan tanaman enceng gondok, sehingga terlihat kurang menarik. Sekitar sepuluh menit, sampailah kami di tujuan. Sebelum sampai di area Candi Cangkuang, saya dan teman-teman melewati sebuah perkampungan Kampung Pulo. Anehnya, di kampung ini hanya terdapat enam rumah panggung. Ternyata, setelah bertanya kepada salah satu warga, salah satu aturan adat di Kampung Pulo adalah hanya boleh ada enam kepala keluarga di kampung tersebut, tidak boleh lebih atau kurang. Jika ada yang menikah, harus ada satu kepala keluarga yang pergi dari kampung. Wow.


Bunga teratai. (Foto: Sari)
Memasuki komplek perkampungan Kampung Pulo (Foto: Zaki)

Komplek Rumah Adat Kampung Pulo. (Foto: Sari)
Rumah adat berbentuk rumah panggung ini hanya boleh ada enam. (Foto: Sari)
Left to right: Tini, saya, Hendri, Zaki, Pitra, dan Rahma. (Foto: Dokumentasi Zaki)
(Foto: Hendri)

Ini dia penampakan Candi Cangkuang. (Foto: Zaki)

Pantai Sayang Helang
Usai menjelajah Candi Cangkuang, kami melanjutkan perjalanan ke pantai, dan setelah sarapan di daerah Batu Tumpang, pantai pertama yang kami kunjungi adalah Pantai Sayang Helang. Pantai ini tergolong sepi. Mungkin karena tergolong pantai karang, sehingga tidak bisa digunakan untuk berenang. Ada sih beberapa space untuk berenang, tetapi ombaknya terlalu tinggi. Saya yang berdiri di atas karang saya berkali-kali kaget mendengar dentuman ombak besar yang pecah terbentur karang. Tetapi menurut saya, pantai ini cukup cantik, dan recommended untuk foto pra-wedding :p. Sekilas, pantai ini mirip Tanah Lot di Bali, karena setelah bibir pantai yang terlihat adalah dataran karang dan beberapa meter baru mencapai laut.
Sarapan di Batu Tumpang. Rumah makannya berada di atas hutan, lho. (Foto: Sari).
Dinamakan daerah Batu Tumpang karena ada batu besar ini. (Foto: Sari)
Dari atas gardu penjaga Pantai Sayang Helang. (Foto: Hendri)
Di atas karang Pantai Sayang Helang. (Foto: Tini)

Pantai Sentolo
Karena cuaca cukup panas dengan matahari yang terik, kami putuskan untuk berenang dan menuju Pantai Sentolo yang kata orang asyik untuk bermain air. Sudah berekspektasi terlalu tinggi, jujur saya cukup kecewa karena setelah sampai di Pantai Sentolo kami tidak menemukan spot berenang yang aman karena air laut sedang tinggi, angin kencang, dan Pantai Sentolo terlalu kotor untuk berenang. Bahkan ada sebuah area di Pantai Sentolo yang rencananya ingin kami gunakan sebagai spot berfoto, tetapi karena anginnya sangat kencang hingga deburan pasir pantai seperti menusuk kulit, jadilah kami berfoto sejenak dan langsung cabut menuju Pantai Rancabuaya karena ingin mengejar sunset di atas tebing.

Pantai Rancabuaya
Meski teman saya yang bertugas mengendarai mobil sudah berusaha mengejar waktu, rupanya kami ketinggalan momen sunset. Ketika sampai di Rancabuaya hari sudah cukup gelap dan matahari sudah turun. Akhirnya kami putuskan mencari penginapan untuk bebersih diri dan mencari makan malam. Penginapan di sekitar pantai menurut saya tergolong murah,  bahkan ada yang memasang tarif Rp 50.000,-. Tetapi karena kami berenam dan dalam kondisi lelah setelah perjalanan jauh, lebih enak memilih penginapan dengan kamar yang luas dan senyaman mungkin. Dengan merogoh kocek Rp 250.000,- saja, kami sudah bisa tidur nyenyak dan menggunakan kamar mandi dengan bebas. Mencari tempat makan malam hari di sekitar pantai sangatlah sulit. Setelah berkeliling, akhirnya kami menemukan sebuah warung yang masih buka di dekat pantai. Agar lebih menjiwai, saya dan beberapa teman pun memesan cumi asam-manis. Dengan harga Rp 70.000,-/ ekor, kami mendapatkan potongan cumi berdaging super tebal dan setelah dimakan berenam pun masih bersisa karena saking banyaknya. Perut kenyang, saatnya beristirahat agar tak ketinggalan menikmati sunrise di tebing esok paginya.
Padang rumput menuju tebing Rancabuaya. (Foto: Zaki)

Cumi asam manis. (Foto: Sari)

Besoknya, pagi-pagi buta kami pergi menuju tebing di ujung pantai dan sampai di atas tebing tepat ketika matahari muncul di ufuk timur. Jadilah kami berfoto ria hingga suasana makin heboh ketika ada salah satu dari kami yang menyatakan perasaannya. Ahh….kalau kata teman saya Suzi, ‘romentik sangat’ :p. Karena langit mulai cerah, kami pun turun untuk berenang di pantai, dan saya menemukan sebuah tebing yang terlihat mirip seperti wajah manusia lengkap dengan lubang hidungnya. Yah….saya memang senang berimajinasi, tetapi tebing ini benar-benar mirip manusia, lho. Ketika teman-teman sedang bermain air di pantai saya juga bertemu dengan Hakam Mabruri, pria asal Malang yang sengaja bermalam di pantai karena sedang dalam misi penyusuran pantai selatan (termasuk melewati perbatasan Malaysia juga). Overall, Pantai Rancabuaya mungkin banyak yang menilai tidak sebanding dengan perjalanan yang jauh dan jalanan yang rusak. Tetapi jika tau tempat-tempat yang oke, pantai ini cukup menyenangkan. Bahkan, saya berencana ingin kembali kesana dan camping di atas tebing. :D

Sunrise di tebing Rancabuaya. (Foto: Sari)
Harus berjalan kaki karena jalannya cukup licin dan curam. (Foto: Sari)
Tebing yang mirip wajah manusia. (Foto: Sari).
Sahabat baru Dolan, Hakam Mabruri. (Foto: Sari)
Sebelum cabut dari penginapan. (Foto: Hendri)
Sst.....di perjalanan menuju Jakarta, kami bermain-main sebentar melihat pemandangan dari atas bukit dan bermain air di sebuah sungai.
Tanjakan menuju bukit. (Foto: Sari)
Ini dia sungainya. Lumayan..cuci muka sebentar :)). (Foto: Sari)