Beberapa waktu yang lalu,
saya dan teman-teman dari komunitas Doyan Jalan (@doyanjalanjalan) menyambangi kota Garut dan berkunjung ke beberapa
tempat, diantaranya Candi Cangkuang, Pantai Sayang Helang, Pantai Sentolo, dan
Pantai Rancabuaya. Karena perjalanan cukup jauh, kami putuskan untuk berangkat
malam hari setelah pulang kerja di Jumat malamnya. Sekitar pukul 23.00 WIB kami
berangkat dari meeting point di Plaza Festival Kuningan dan sampai di
Cangkuang sekitar pukul 03.00 WIB.
Candi
Cangkuang
Nama
Candi Cangkuang diambil dari nama desa dimana candi tersebut ditemukan.
Sedangkan desa Cangkuang sendiri berasal dari nama pohon yang tumbuh subur di
sekitar candi, namanya pohon Cangkuang. Termasuk tanaman jenis pandan (Pandanus Furcatus), jaman
dulu daunnya sering dipakai untuk membuat tikar maupun untuk pembungkus gula
aren.
Pada waktu itu kami pikir
bisa masuk ke area candi karena gerbangnya terbuka, ternyata untuk menuju ke
candi kami masih harus menyebrangi Situ Cangkuang. Di pinggir situ terdapat
sekitar 24 rakit berbentuk rumah yang berjejer rapi. Setelah bertanya pada
warga yang lewat, ternyata kami baru bisa menyebrangi situ pada pukul lima
pagi. Karena ngebet mengejar sunrise di Cangkuang, kami pun memutuskan untuk
tidur sejenak di mobil menunggu pengelola datang.
Tepat setelah azan subuh
berkumandang, usai menunaikan kewajiban ibadah, kami langsung menego harga
rakit untu menyusuri situ. Tarif per orang biasanya Rp 4000,- tetapi harus
menunggu rakit penuh hingga 20 orang. Tetapi berhubung pada waktu itu kami
hanya berenam, terpaksa kami harus membayar Rp 80.000,-. Setelah melalui
negosiasi, akhirnya saya dan pengayuh rakit sepakat di harga Rp 50.000,-.
Sebenarnya harga tersebut masih mahal, tapi kalau dipikir-pikir kasihan juga si
pengayuh rakit karena uang yang ia peroleh tersebut nantinya masih dipotong
iuran ke pengelola dan satu pengayuh hanya boleh membawa rakit sekali dalam
sehari. Hitung-hitung amal lah…
|
Deretan rakit di Situ Cangkuang. (Foto: Sari) |
Terletak di Desa Cangkuang,
Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, situ ini dikelilingi gugusan
gunung di empat penjuru mata anginnya, yaitu Gunung Mandalawangi, Gunung
Kaledong, Gunung Halimun, Gunung Batara Guru, Gunung Guntur dan Gunung Cikuray.
Deretan gunung ini menjadikan situ Cangkuang terlihat sangat cantik. Pastinya
saya tak mau melewatkan kesempatan berfoto di atas rakit dong :D.
|
Di belakang saya itu Gunung Cikuray. (Foto: Dokumen pribadi) |
|
(Foto: Dokumentasi Zaki) |
Ketika menyebrangi situ saya
melihat sekelompok bunga teratai yang sedang bermekaran. Sayangnya, bunga teratai
ini kurang terawat and bercampur dengan tanaman enceng gondok, sehingga
terlihat kurang menarik. Sekitar sepuluh menit, sampailah kami di tujuan.
Sebelum sampai di area Candi Cangkuang, saya dan teman-teman melewati sebuah
perkampungan Kampung Pulo. Anehnya, di kampung ini hanya terdapat enam rumah
panggung. Ternyata, setelah bertanya kepada salah satu warga, salah satu aturan
adat di Kampung Pulo adalah hanya boleh ada enam kepala keluarga di kampung
tersebut, tidak boleh lebih atau kurang. Jika ada yang menikah, harus ada satu
kepala keluarga yang pergi dari kampung. Wow.
|
Bunga teratai. (Foto: Sari) |
|
Memasuki komplek perkampungan Kampung Pulo (Foto: Zaki) |
|
Komplek Rumah Adat Kampung Pulo. (Foto: Sari) |
|
Rumah adat berbentuk rumah panggung ini hanya boleh ada enam. (Foto: Sari) | | |
|
|
Left to right: Tini, saya, Hendri, Zaki, Pitra, dan Rahma. (Foto: Dokumentasi Zaki) |
|
(Foto: Hendri) |
|
Ini dia penampakan Candi Cangkuang. (Foto: Zaki) |
Pantai
Sayang Helang
Usai menjelajah Candi
Cangkuang, kami melanjutkan perjalanan ke pantai, dan setelah sarapan di daerah Batu Tumpang, pantai pertama yang kami
kunjungi adalah Pantai Sayang Helang. Pantai ini tergolong sepi. Mungkin karena
tergolong pantai karang, sehingga tidak bisa digunakan untuk berenang. Ada sih
beberapa space untuk berenang, tetapi ombaknya terlalu tinggi. Saya yang
berdiri di atas karang saya berkali-kali kaget mendengar dentuman ombak besar
yang pecah terbentur karang. Tetapi menurut saya, pantai ini cukup cantik, dan
recommended untuk foto pra-wedding :p. Sekilas, pantai ini mirip Tanah Lot di
Bali, karena setelah bibir pantai yang terlihat adalah dataran karang dan beberapa
meter baru mencapai laut.
|
Sarapan di Batu Tumpang. Rumah makannya berada di atas hutan, lho. (Foto: Sari). |
|
Dinamakan daerah Batu Tumpang karena ada batu besar ini. (Foto: Sari) |
|
Dari atas gardu penjaga Pantai Sayang Helang. (Foto: Hendri) |
|
|
Di atas karang Pantai Sayang Helang. (Foto: Tini) |
Pantai
Sentolo
Karena cuaca cukup panas
dengan matahari yang terik, kami putuskan untuk berenang dan menuju Pantai
Sentolo yang kata orang asyik untuk bermain air. Sudah berekspektasi terlalu
tinggi, jujur saya cukup kecewa karena setelah sampai di Pantai Sentolo kami
tidak menemukan spot berenang yang aman karena air laut sedang tinggi, angin
kencang, dan Pantai Sentolo terlalu kotor untuk berenang. Bahkan ada sebuah
area di Pantai Sentolo yang rencananya ingin kami gunakan sebagai spot berfoto,
tetapi karena anginnya sangat kencang hingga deburan pasir pantai seperti
menusuk kulit, jadilah kami berfoto sejenak dan langsung cabut menuju Pantai
Rancabuaya karena ingin mengejar sunset di atas tebing.
Pantai
Rancabuaya
Meski teman saya yang
bertugas mengendarai mobil sudah berusaha mengejar waktu, rupanya kami
ketinggalan momen sunset. Ketika sampai di Rancabuaya hari sudah cukup gelap
dan matahari sudah turun. Akhirnya kami putuskan mencari penginapan untuk
bebersih diri dan mencari makan malam. Penginapan di sekitar pantai menurut
saya tergolong murah, bahkan ada yang
memasang tarif Rp 50.000,-. Tetapi karena kami berenam dan dalam kondisi lelah
setelah perjalanan jauh, lebih enak memilih penginapan dengan kamar yang luas
dan senyaman mungkin. Dengan merogoh kocek Rp 250.000,- saja, kami sudah bisa
tidur nyenyak dan menggunakan kamar mandi dengan bebas. Mencari tempat makan
malam hari di sekitar pantai sangatlah sulit. Setelah berkeliling, akhirnya
kami menemukan sebuah warung yang masih buka di dekat pantai. Agar lebih
menjiwai, saya dan beberapa teman pun memesan cumi asam-manis. Dengan harga Rp
70.000,-/ ekor, kami mendapatkan potongan cumi berdaging super tebal dan
setelah dimakan berenam pun masih bersisa karena saking banyaknya. Perut
kenyang, saatnya beristirahat agar tak ketinggalan menikmati sunrise di tebing
esok paginya.
|
Padang rumput menuju tebing Rancabuaya. (Foto: Zaki) |
|
Cumi asam manis. (Foto: Sari) |
Besoknya, pagi-pagi buta
kami pergi menuju tebing di ujung pantai dan sampai di atas tebing tepat ketika
matahari muncul di ufuk timur. Jadilah kami berfoto ria hingga suasana makin
heboh ketika ada salah satu dari kami yang menyatakan perasaannya. Ahh….kalau
kata teman saya Suzi, ‘romentik sangat’ :p.
Karena langit mulai cerah, kami pun turun untuk berenang di pantai, dan saya
menemukan sebuah tebing yang terlihat mirip seperti wajah manusia lengkap dengan
lubang hidungnya. Yah….saya memang senang berimajinasi, tetapi tebing ini
benar-benar mirip manusia, lho. Ketika teman-teman sedang bermain air di pantai
saya juga bertemu dengan Hakam Mabruri, pria asal Malang yang sengaja bermalam
di pantai karena sedang dalam misi penyusuran pantai selatan (termasuk melewati
perbatasan Malaysia juga). Overall, Pantai Rancabuaya mungkin banyak yang
menilai tidak sebanding dengan perjalanan yang jauh dan jalanan yang rusak.
Tetapi jika tau tempat-tempat yang oke, pantai ini cukup menyenangkan. Bahkan,
saya berencana ingin kembali kesana dan camping di atas tebing. :D
|
Sunrise di tebing Rancabuaya. (Foto: Sari) |
|
Harus berjalan kaki karena jalannya cukup licin dan curam. (Foto: Sari) |
|
Tebing yang mirip wajah manusia. (Foto: Sari). |
|
Sahabat baru Dolan, Hakam Mabruri. (Foto: Sari) |
|
Sebelum cabut dari penginapan. (Foto: Hendri) |
Sst.....di perjalanan menuju Jakarta, kami bermain-main sebentar melihat pemandangan dari atas bukit dan bermain air di sebuah sungai.
|
Tanjakan menuju bukit. (Foto: Sari) |
|
Ini dia sungainya. Lumayan..cuci muka sebentar :)). (Foto: Sari) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar