Minggu, 19 Februari 2012

Brain Refresh Ketika Deadline

Suasana di Sabang 16. Homy banget, deh. (Foto: Suryo Tanggono).

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Saya dan kedua teman kantor saya, Tini dan Novi, segera beranjak dari kursi dan kabur keluar. FYI, waktu itu masih banyak yang sedang bekerja di kantor, karena sedang deadline. Tapi kebetulan, pekerjaan saya sudah selesai, dan besoknya baru ada deadline lagi, jadi saya tak terlalu merasa berdosa untuk kabur. :p
Pilihan kami pun jatuh pada sebuah coffeeshop mini di deretan Jalan Sabang, yaitu Sabang 16 (tepat di sebelah Kopitiam Oey milik Pak Bondan Winarno). Sebelumnya kami sudah pernah berkunjung ke Sabang 16 ini, dan memang rasanya bikin nagih. Kopi dan sarikaya yang menjadi primadona di coffeeshop ini benar-benar menarik kami untuk datang lagi dan lagi. Selain itu, suasananya juga enak untuk sekedar nongkrong.
Kami pun memesan kopi tetes vietnam, yaitu sajian kopi andalan di tempat ini. Kita bisa memilih ingin menggunakan kopi jenis apa, dan ingin disajikan seperti apa. Karena sudah kepincut dengan kopi tetes Vietnam, saya dan Novi pun memilih penyajian dengan cara tersebut. Untuk jenis kopinya, karena dulu saya sudah pernah mencoba kopi Sidikalang yang menjadi signature coffee di sini, kali ini saya mencoba kopi jenis Aceh Gayo, dan Novi memilih Papua Nabire, sedangkan tini lebih suka teh tarik. Selain itu kami juga memesan Roti Sarikaya, French Toast, dan Es Krim Medan. Pesanan datang, kami pun segera menyantapnya.
Roti Sarikaya, primadona di sini. (Foto: Suryo Tanggono).
Kopi Tetes Ala Vietnam. (Foto: Ruth Marbun).

Berkunjung ke Sabang 16 ini benar-benar membuat kami sangat ketagihan. Terlebih-lebih saya, karena jujur saja, selain dengan teman-teman kantor, saya juga senang mengajak teman lain untuk datang ke coffeeshop milik Timothy Marbun ini. Warung kopi ini sekarang masuk ke dalam daftar lokasi nongkrong saya di Jakarta.

Selasa, 14 Februari 2012

SATURDAY NIGHT ESCAPE WITH MY GANK

Malam itu saya dan teman-teman kos (Femi, Kak Heni, Yuki, dan Stefanny) memang berencana wisata kuliner di Jalan Sabang, Jakarta. Sewaktu sampai di sana, ternyata lokasi yang kami tuju tutup. Karena perut sudah keroncongan, akhirnya kami pun memutuskan untuk makan di restoran terdekat, yaitu Warung Desa.
 
Setelah makanan yang kami pesan datang, segera saja kami melahapnya. Tak sampai 30 menit isi piring kami masing-masing sudah ludes. Rupanya memang semua sudah kelaparan. Selesai makan, kami pun tak langsung pulang. Hey, it’s Saturday night! Jadi, kami pun memilih untuk melanjutkan ngobrol ngalor-ngidul sambil becandaan hingga tengah malam tiba. Sebagai pendatang baru di kos kami, Yuki yang juga teman dekat Stefanny cukup menyita perhatian kami, karena dia benar-benar kocak! Ada saja tingkah anehnya yang membuat kami terbahak-bahak seketika. Karena sudah cukup lama di resto tersebut, kami pun memutuskan untuk pindah tempat nongkrong tak jauh dari Jalan Sabang, yaitu McCafe Sarinah.

Karena malam Minggu, McCafe saat itu benar-benar crowded. Sampai-sampai kami tidak kebagian tempat duduk, karena rata-rata orang datang kesitu tak hanya makan, tapi juga untuk menghabiskan malam. Setelah menunggu sekitar hampir 15 menit, akhirnya kami pun berhasil mendapatkan tempat. Stefanny yang sedang ‘ngidam’ es krim pun memesan McFlurry, Yuki memesan soda, dan saya tentu saja memesan cappuccino. Obrolan pun mengalir dari kami. Mulai dari masalah kerjaan, hingga keluarga. Tak terasa, jam sudah menunjuk pukul 02.00 WIB, dan kami pun bergegas untuk pulang, karena sebagian dari kami sudah dilanda kantuk.

Menghabiskan malam di luar bersama teman kos merupakan pengalaman baru bagi saya. Biasanya, kami hanya nonton bareng di kos, atau, karena saya terbiasa hidup sendiri di kos yang lama, saya biasanya jalan-jalan sendiri. Apalagi setelah sahabat saya mulai sibuk dengan kuliahnya dan setiap weekend dia tak pernah bisa saya ajak pergi. Pengalaman malam itu memberikan banyak pelajaran berharga untuk saya, bahwa bermain bersama teman-teman baru itu bisa juga menyenangkan. Love you guys! :)

Selasa, 07 Februari 2012

Richard Rain: The Charming Hallucionist

Selesai wawancara, foto dulu. (Dok: Rangga Ibiza/ E-Motion)

Pertama kali bertemu dengan pesulap yang satu ini, kesan yang saya tangkap dia adalah orang yang kaku. Ternyata, penampilannya yang lumayan formal ini bertolak belakang dengan karakter aslinya. Host acara sulap TRIX di ANTV ini benar-benar ramah dan rendah hati. Kalau melihat ekstrimnya sulap yang dibawakannya pun Anda tak akan mengira bahwa pria ini sangat lembut.
Obrolan pun dimulai. Setelah berbincang-bincang kehidupan dan kariernya, saya menemukan sebuah perjalanan hidup yang cukup amazing. Betapa tidak? Dari kecil, si Richard Rain ini seperti sudah diarahkan untuk menjadi seorang magician. Berawal dari ketertarikannya pada permainan sulap, dan ia memulai belajar trik sulap lewat sebuah buku sulap yang dibelinya di pedagang mainan anak keliling seharga Rp 100,-. Seiring berjalannya waktu, keinginan finalis lima besar The Master season 1 ini makin besar untuk memperdalam dunia sulap. Tak tanggung-tanggung, ia juga membeli beberapa buku khusus untuk para magia (sebutan untuk pesulap profesional) hingga India. Satu hal yang menarik adalah, dari dahulu hingga kini ia belajar sulap hanya lewat buku. Selain itu, meski ditentang keras oleh keluarganya, Richard yang lulus kuliah dari jurusan Hukum UI dan terpaksa bekerja di bank, tetap kukuh untuk melanjutkan mimpinya, menjadi seorang pesulap profesional. Ia juga masih senang bermain sulap di depan teman-temannya. Masa-masa kebimbangan pun timbul pada waktu sang Ayah tercinta sakit keras. Bermaksud menghibur Ayah yang sedang terbaring di rumah sakit, Richard pun memainkan trik sulap, dan sang ayah hanya berkata, “Kamu jangan jadi pesulap.” Saat itu Richard yang berusia 24 sudah kehilangan Ibu, dan tentunya ia tidak ingin mengecewakan sang Ayah. Tak lama, Ayah tercinta pun meninggal dunia pada 2003, dan Richard memutuskan untuk berhenti bermain sulap. Setengah tahun berjalan, tiba-tiba datang tawaran untuk bermain sulap untuk sebuah acara dari sang teman. Lama tidak bermain sulap dan tiba-tiba harus tampil di depan orang banyak membuat Richard tertarik kembali untuk mengejar mimpinya yang sempat terpendam. Akhirnya Richard pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan kembali survive di dunia magic.
Satu hal yang paling membuat saya terperangah adalah kegiatan rutin sebulan sekali yang dijalani Richard dengan menghibur anak-anak panti asuhan yatim piatu lewat bermain sulap. Di sela-sela kesibukannya kini, ia pun masih menyempatkan diri untuk menjalani kegiatan yang sudah dijalaninya sejak 2007 tersebut, tanpa dibayar. Baginya, bermain untuk anak-anak tersebut sangat menyenangkan, karena ia yang juga seorang yatim piatu sangat ingin berbagi keceriaan dengan sesama. Ohh…. He’s really really a good guy… Impian terbesarnya, ia ingin bisa menggelar show di Las Vegas, kota impian para magician. Well,… Good luck, Richard! :)

Meet The Humble Guy Marsya Manopo



Marsya Manopo. Saat mendengar namanya, saya langsung teringat dengan nama seorang musisi jaman dahulu, yaitu Jimmy Manopo. Yap! Tidak salah ternyata, dia adalah putra dari sang musisi legendaris. Meski begitu, Marsya rupanya bukan orang yang ingin memanfaatkan ketenaran ayahnya tersebut. Terbukti, setelah menjalani sesi interiew, saya tau bahwa dia benar-benar berjuang dari bawah untuk bisa menjadi seperti sekarang. Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum, Marsya ini adalah musisi yang benar-benar mencintai musik. Kalau ada beberapa musisi atau penyayi yang menggunakan musik sebagai sumber mata pencahrian, saya lebih melihat Marsya ini menggunakan musik untuk menjalani kehidupannya. Bahkan, setiap kesal atau marah, Marsya selalu menjadikan musik itu sendiri sebagai 'obat' yang cukup manjur. "Yah....cukup dengan gebuk-gebuk drum atau main piano aja, saya udah tenang lagi," katanya waktu itu.
Selain itu, ternyata musik adalah 'alat' yang cukup berjasa bagi Marsya. Kok bisa? Yah.... katanya, dulu itu si Marsya tidak begitu dekat dengan sang ayah, karena ayahnya sibuk manggung sana-sini, dan komunikasi keluarganya pun tidak terlalu lancar. Tapi, setelah akhirnya Marsya tertarik untuk masuk ke dunia musik, sang ayah pun akhirnya bersedia menjadi pelatih (walaupun awalnya ayah Marsya ini kurang setuju ia menjadi musisi, dan meminta Marsya untuk menjadi pegawai saja).  Dan..... walla! Marsya pun tumbuh menjadi pribadi yang semakin hari semakin mencintai musik.
Selama interview, saya pun  merasa benar-benar comfort, karena Marsya ini termasuk seleb yang 'hangat'. Menjalani sesi wawancara yang notabene adalah pekerjaan saya, rasanya seperti sedang mengobrol dengan seorang teman. Di sela-sela pertanyaan Marsya pun melontarkan banyolan-banyolannya yang membuat perbincangan semakin seru. Well.....I'ts nice to talk with him. Seriously.

Serunya Interview Afgan



Setelah diperhatikan, pose saya berlebihan ternyata =.='

Untuk bisa mewawancariai Afgansyah Reza ternyata nggak segampang yang saya bayangkan. Waktu itu kebetulan memang Afgan baru semester awal kuliah di Malaysia. Jadi, waktu itu untuk rubrik Men Alert, saya mendapat jatah untuk interiew Afgan. Awalnya sih santai dan saya yakin bisa diatur lah.... karena hampir setiap weekend si Afgan itu pulang ke Indonesia, dan kadang kalau lagi nggak ada jadwal kuliah, dia bisa lebih lama di Indo. Tapi ternyata sulit banget untuk mendapatkan waktu yang pas, dari pihak manajemen juga nggak bisa kasih kepastian dengan cepat, karena belum tau juga si Afgan ini dapet tiket untuk pulang nggak, kalau dapet, dapetnya yang jam berapa mereka juga masih belum dapet info. Jujur, saya capek menunggu, dan hampir saja nama Afgansyah Reza dihapus dari daftar pria-pria tampan berprestasi Men Alert, dan digantikan dengan salah satu penyanyi pendatang baru. Singkat cerita, setelah lama menunggu kepastian dari Mas Benny dan Mas Aldo (dari manajemen Afgan), akhirnya saya berhasil mendapatkan kesempatan untuk interiew. Yeay!!
Berhubung perjalanan ke rumah Afgan di Kramat Jati ini lumayan jauh, saya pun mengajak teman dari majalah Gadis yang kebetulan juga belum mendapat kepastian kapan bisa bertemu dengan Afgan, yaitu Uung. Berangkatlah saya dan Uung menuju rumah Afgan di Komplek Bumi Harapan Permai. Karena saat itu sedang bulan puasa, jam-jam menjelang beduk maghrib sudah jelas ramai, dan kami sempat terjebak macet. Sehingga, dari kantor kami berangkat pukul empat sore, sampai di rumah Afgan baru pukul 18.30 WIB.
Belum interview, badan sudah pegal-pegal, perut lapar dan rasanya haus, karena nggak sempat juga beli makanan dan minuman untuk berbuka. But, lucky me! Ibunda Afgan benar-benar pengertian. Dia langsung membelikan saya dan Uung nasi ayam bakar dan es buah. Wahh......rupanya buka puasa kali ini benar-benar unik. Langsung saja saya dan Uung, ditemani Memed sang asisten, menyantap apa yang disediakan oleh Ibunda Afgan. Selama saya menunggu Afgan datang sambil menggendong anjing kecil yang ia akui sebagai temannya selama di apartemen Malaysia, keluarganya benar-benar hangat dan ramah, jadi kami tak merasa bosan menunggu. Sekitar pukul sembilan malam, Afgan pun tiba di rumahnya. Memang lumayan lama, sih, karena perjalanan dari bandara menuju rumahnya memang cukup jauh dan pastinya macet. Yahh.....saya bisa memaklumi, lah.
Sebelum wawancara, Afgan meminta waktu beberapa menit untuk minum obat, karena waktu itu dia sedang flu. Anjing  yang ia bawa pun diletakannya di ruang keluarga, tempat kami duduk. Karena saya geli, akhirnya saya berpindah tempat. Saya memang pecinta binatang, apalagi hewan lucu seperti anjing, tapi saya merasa geli ketika didekati. Alhasil, saat si anjing mendekat, saya spontan lompat dari kursi dan berlari-lari di dalam rumah Afgan. Sekitar 5 menit berkejar-kejaran dan membuat heboh seisi rumah (waktu itu ibu, asisten, dan nenek Afgan ikut heboh berusaha menangkap si anjing), akhirnya anjing berhasil ditangkap oleh Afgan. Huft....lega rasanya.
Ini dia anjing yang jadi tersangka insiden kejar-kejaran.
Akhirnya, interview pun dimulai. Meski baru saja datang dari Malaysia dan belum apa-apa, Afgan bersedia untuk kami wawancara. Jujur saja, saya bukan penggemar Afgan. Tetapi melihat dia benar-benar ramah dan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya dan Uung yang kalau ditotal ada lebih dari 30 pertanyaan, saya jadi tiba-tiba ngefans sama Afgan. Secara, sekarang banyak artis-artis yang karena kualitasnya semakin meningkat, semakin terkenal, tapi semakin sombong. Setelah wawancara selama kurang lebih hampir dua jam, saya dan Uung pun undur diri. Afgan yang waktu itu ditemani oleh ibu, nenek, adik laki-laki dan tentu saja xxx anjing kesayangannya, mengantar kami pulang. Well....setelah perjuangan yang lumayan panjang, saya merasa mendapatkan hal yang setimpal. And you know what? Now I'm one of his big fans. LOL!