Jumat, 30 Agustus 2013

“Ini hati. Bukan markas intelijen!”

Sore itu, di bilik kamar berukuran empat kali lima meter saya menemain seorang kawan yang tengah gundah gulana karena baru saja mengalami suatu hal yang cukup membuatnya galau. Yeah...Anda benar kalau menebak ini masalah hati. Sebut saja namanya Yanti. Sambil menyeruput hot cappuccino yang saya buat dalam sebuah cangkir merah, dia mulai bercerita.
Dengan usia Yanti yang sudah menginjak kepala tiga, ia cukup banyak berharap kepada seorang pria yang beberapa waktu belakangan ini masuk ke dalam kehidupannya. Sayangnya, secara tiba-tiba pria tersebut menghilang. Saya ingat sekali bagaimana chemistry Yanti dan pria tersebut benar-benar hangat pada saat mereka mengantarkan saya berkeliling kota Cirebon di malam hari. Pada waktu itu saya melihat secercah harapan dan saya yakin bahwa pria itulah yang akan menjadi pria terakhir Yanti. Mereka begitu dekat dan hangat. Yah.itu kondisi lima bulan yang lalu, sih. Tetapi ketika Yanti mengatakan bahwa si pria sedang berada di Jakarta dan berjanji akan menemuinya, tetapi tak kunjung datang dan membalas pesan via ponsel pun tidak. Di usiaku yang sekarang ini, aku cukup paham apa yang terjadi sekarang, Sar. Dua kali dia membuat janji dan dua kali batal dengan tanpa kejelasan di janji terakhir. Tapi aku tidak suka caranya menghilang tiba-tiba. Yanti sangat paham bahwa memang tak hanya dia yang menjadi target incaran pria tersebut. Ia tau bahwa ada nona A dan nona B yang juga sedang didekati oleh lelakinya. Tetapi sebelum ada kejelasan hubungan antara mereka berdua, Yanti tak mau posesif. Saya melihat wajah Yanti yang berusaha tegar namun matanya terlihat sayu. Jelas sekali ia mencoba terlihat kuat di luar namun rapuh di dalam. Saya hanya bisa mengusap-usap punggungnya sembari berkata, Sabar ya. Mungkin memang dia bukan jodoh yang baik.
Melihat kasus teman saya ini, saya pun mengambil sebuah kesimpulan. Ketika seorang wanita atau pria sudah di ambang batas usia untuk berkeluarga, mungkin mereka memang sedang dalam tahap berburu. Masing-masing berusaha mencari dan mendekati mana yang paling cocok untuk dijadikan teman hidup. Tetapi karena karakter hubungan asmara orang dewasa yang sudah tak menggunakan kata "Mau jadi pacarku?" atau "I Love You. How about you?" memang terkadang membingungkan dan akhirnya akan membuat sakit hati di salah satu pihak. Secara karakter, mungkin pria dewasa menganggap hal pengungkapan tersebut tidak penting, tetapi berbeda dengan wanita. Para wanita membutuhkan sebuah kejelasan tentang hubungan mereka sehingga mereka bisa memutuskan akan bertahan dan melanjutkan ke langkah selanjutnya ataukah menerima pria lain yang hadir di hidupnya.
Saya jadi ingat dengan sebuah image dari path milik seorang teman yang bertuliskan kata-kata yang cukup mengena di hati. Ini hati, bukan markas intelijen. Kalo emang suka bilang aja, gak usah pake kode-kodean. Hahahaa.ada benarnya juga kata-katanya.

Merdeka ala Komunitas Doyan Jalan


Dari namanya saja, Doyan Jalan, Anda pasti sudah bisa menebak komunitas apa ini. Yap! Doyan Jalan adalah sebuah komunitas yang berisi orang-orang yang memiliki hobi yang sama. Jalan-jalan kemana pun suka-suka, tagline dari komunitas ini pun sudah cukup menjelaskan.
Pada hari Minggu kemarin tanggal 18 Agustus, Doyan Jalan mengadakan event yang cukup unik, yaitu perlombaan 17 Agustus yang saat ini sudah sangat jarang sekali diadakan di kota besar seperti Jakarta. Well, kalau diperhatikan setiap hari kemerdekaan di Jakarta yang diagung-agungkan adalah karnaval dan karnaval. Jarang sekali diadakan lomba makan kerupuk, balap kelereng, balap karung, dan lomba 17 Agustus seperti biasanya, kecuali di daerah pinggiran. Berpartisipasi dalam event yang diadakan doyan Jalan ini membuat saya cukup bernostalgia ke masa kecil dimana saya selalu mengikuti lomba-lomba di hari kemerdekaan.
Dari lokasinya meeting point-nya saja, saya cukup excited dengan Situ Babakan. Secara, saya adalah penyuka wisata budaya. Menurut informasi yang saya dapatkan, Situ Babakan ini adalah relokasi dari area perkampungan Betawi. Sebagai pendatang di kota Jakarta, saya adalah orang yang cukup penasaran dengan budaya Betawi. Maka dari itu, sesampainya di Situ Babakan, setelah turun dari angkutan umum saya memilih untuk berjalan kaki menikmati pemandangan di area perkampungan. Rata-rata bentuk rumahnya memang serupa, terdapat hiasan kusen dengan bentuk ketupat dan jaro (yaitu pagar yang dibuat dari bambu atau kayu yang dibentuk secara ornamentik. Begitu masuk, saya disambut oleh dua pria berpakaian khas Betawi dengan peci dan sarung yang dikalungkan di leher menyambut ramah. Setelah itu saya meminjam sepeda seorang kawan untuk berkeliling situ (danau). Karena masih dalam masa liburan, Situ Babakan penuh sesak di beberapa area. Karena itulah lokasi untuk event Doyan Jalan diputuskan pindah ke area terdekat yang terdapat taman untuk mengadakan perlombaan. Pilihan pun jatuh kepada area kampus UI yang memang masih banyak terdapat area rerumputan dengan pohon-pohon tinggi. Di tempat inilah acara digelar.
So, berikut ini adalah foto-foto kegiatannya. Meskipun anggota komunitas ini sudah bukan anak kecil lagi, tapi mereka tidak malu mengikuti lomba yang lokasinya diadakan di area kampus Universitas Indonesia yang mana pada saat itu banyak mahasiswa yang lalu-lalang sedang mempersiapkan penerimaan mahasiswa baru. Inilah yang dimaksud merdeka ala komunitas Doyan Jalan. Bersenang-senang tanpa harus merasa malu. Great event!
See? Mereka bukan anak kecil lagi
See? Mereka bukan anak kecil lagi
Merah untuk merdeka!
Merah untuk merdeka!