Senin, 02 Januari 2012

7 Jam di Stasiun Bandung


Hari itu Jumat malam 15 April 2011. Berhubung Jakarta macet di sore hari, maka sekitar pukul 18.00 WIB saya baru sampai di kos. Melihat jam keberangkatan kereta Taksaka di tiket pukul 20.45, saya sedikit lega, ada waktu untuk berberes sejenak.

Karena stasiun Gambir tak jauh dari kos, maka aku berangkat sekitar pukul 20.15, dan lima belas menit kemudian sampailah di stasiun. Sambil berlari-lari aku bertanya pada petugas di jalur berapa kereta Taksaka. "Antara jalur tiga dan empat,"Katanya. Langsung saja aku berlari menuju tangga untuk naik ke jalur yang dimaksud. Saat kulihat sudah ada kereta yang stand by di jalur tiga, maka langsung saja aku masuk, dan tak lama kereta pun berjalan. Tempat duduk nomor 13B yang sengaja kupesan jauh-jauh hari itu pun segera kugapai.

Karena lelah seharian, akupun tertidur hingga tiba-tiba kereta berhenti lama dan satu-persatu orang keluar sampai kereta pun kosong. Sedikit bingung, datanglah petugas kereta membersihkan gerbong dan berkata, "Pemberhentian terakhir mbak."
Kulihat jam tangan masih pukul 00.10, lalu kutanya "Ini dimana ya pak?"
"Bandung mbak", Jelasnya.

SHOCK BERAT!!!!!Beberapa detik badanku membeku dan kepanikan mulai melanda. Langsung saja aku lari keluar gerbong dan bertanya pada seorang wanita yang juga baru saja turun dari kereta yang sama. Dengan sedikit penjelasan, aku diberitahu bahwa loket baru buka pukul 05.00 dan kereta ke Jogja paling pagi pukul 07.00. Parah.....memang hari itu aku sedang diberi cobaan sama Tuhan.

Aku berkeliling stasiun mencoba mencari lokasi strategis dan kira-kira aman untuk beristirahat sampai jam lima nanti. Dekat loket ada bangku-bangku berjajar dan ada seorang wanita yang ternyata sedang menunggu jemputan. Untuk sementara waktu kupikir cukup aman. Dari jauh kulihat ada petugas satpam datang, langsung saja kujelaskan apa yang terjadi dan minta bantuan. petugas satpam yang bernama Agus itupun memberitahuku kalau tiket bisa ditukarkan di customer service yang kantornya buka jam tujuh pagi.

Kucoba berpikir sejenak. Kalau menunggu CS buka, bisa-bisa aku ketinggalan kereta Argo Wilis yang berangkat jam 07.00 WIB. akhirnya kuputuskan akan membeli tiket lagi nanti, yang penting bisa cepat sampai di Jogja, karena aku membawa keperluan lamaran kakak yang sudah ditunggu-tunggu.

Satpam yang bertugas saat itu ada tiga orang. Dua orang bertugas keliling dan satu orang menemaniku. Saat Agus harus berkeliling, dia pun berpamitan padaku, "Maaf mbak, saya keliling dulu ya, nanti saya balik lagi". Beberapa menit yang lalu aku memberi kabar pada kakakku kalau salah naik kereta dan 'nyungsep' di Bandung. Adanya peringatan dari kakakku itu kalau pernah ada wanita diperkosa di stasiun Bandung membuatku semakin panik. Kuputuskan untuk ikut berpatroli keliling stasiun bersama satpam Agus.

Sekitar pukul 03.00 WIB aku dan Agus kembali ke tempat semula. Kekhawatiranku sedikit menghilang ketika Agus menghidupkan rekaman di telepon genggamnya, surat Al Baqoroh. Dengan tenang akupun tidur di kursi tersebut.

Stasiun sudah mulai ramai, Agus membangunkanku, "Mbak, loketnya sudah buka"
Setelah berterimakasih, aku langsung menuju loket untuk membeli tiket kereta Argo Wilis pukul 07.00 WIB. Satu setengah jam kemudian kulihat petugas cs telah datang. Setelah berkonsultasi, ternyata tiket bisa ditukarkan tapi untuk pemberangkatan pukul 08.00. Karena sudah lelah menunggu, akupun tetap menggunakan tiket yang sudah kubeli.

Kereta Argo Wilis datang, akupun langsung duduk dan tidur saat kereta masih kosong. Saat terbangun, kereta sudah berjalan dan masinis sedang memeriksa tiket. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah belakang. Kulihat seorang ibu-ibu yang sudah berumur dan memakai tongkat untuk menopang tubuhnya, sedang menenangkan anaknya yang memiliki keterbelakangan mental. Saat ingin ke belakang, ibu tersebut menitipkan anaknya padaku karena waktu itu kursi di sampingku kosong. Anak tersebut terus berbicara dan membicarakan ini itu yang (maaf) aku sendiri terkadang kurang paham karena bicaranya juga kurang jelas. Untuk membuatnya tenang, aku hanya menganggung-angguk dan tersenyum menandakan aku sepaham dengan apa yang dimaksud.

Dari kejadian ini aku mengambil satu kesimpulan bahwa dalam setiap masalah ada hikmah yang bisa kita petik. Jika aku tidak terdampar di bandung dan naik kereta Argo wilis, maka aku tidak akan bertemu seorang ibu yang sangat penyabar dan tulus dalam mengurus anaknya. Momen tersebut menyadarkanku bahwa seorang ibu tidak mungkin tidak menyayangi anak kandungnya, meskipun anak tersebut hidup dengan segala kekurangannya. Maka, bersyukurlah untuk kita yang masih memiliki ibu, sayangilah beliau selagi bisa. Ketika seorang ibu melarang atau memarahi kita, itu hanya semata-mata karena rasa sayangnya yang berlebihan dan terkadang kita menilainya 'lebay'.