Lingkungan sekeliling saya sedang dilanda kegalauan rupanya. Sejak bergabung dengan sebuah komunitas jalan-jalan yang isinya raja galau, saya jadi sedikit ketularan galau. (Inget umur Sar! hahaaaa.....). Anyway, yang akan saya bahas sekarang adalah pengaruh hubungan percintaan dengan usia. Haiss....berasa judul skripsi ya. Tulisan saya ini cuma berbagi pengalaman aja ya, semoga bisa jadi bahan pertimbangan.Bukan berarti saya pro atau kontra.
Kalo boleh jujur, sejak duduk di sekolah dasar, saya selalu jadi target kepo adik-adik kelas. Bukan sekedar ge-er ya....tapi beneran lho. Waktu saya kelas enam ada anak kelas tiga dari SD sebelah yang suka titip-titip salam lewat adik saya yang bersekolah di SD tersebut. Katanya sih mengenal saya waktu sama-sama mengikuti kejuaraan menggambar. Padahal saya sama sekali tak mengingatnya (ya kali....fokus ngegambar gitu loh). Setelah lulus dan masuk ke sebuah sekolah menengah, saya mengikuti kegiatan ibadah khusus remaja yang diadakan di dekat rumah.
Satu tahun berjalan, di kegiatan ibadah tersebut saya mengenal seorang anak laki-laki bernama Ardi (bukan nama sebenarnya) yang ternyata adik kelas satu di sekolah yang sama. Dia baru saja masuk dan bertanya seputar ospek dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Karena kebetulan saya yang mengurus kegiatan penerimaan siswa baru juga, saya pun memberikan sedikit gambaran. Ospek berjalan tanpa ada sesuatu yang spesial, tetapi ketika kegiatan Persami (Perkemahan Sabtu Minggu) yang wajib diikuti setiap siswa baru di sekolah, saya mengalami kejadian lucu. Pada saat itu saya kebagian mengampu sebuah kelas yang ternyata adalah kelas si Ardi. Awalnya biasa saja hingga ketika saya menemukan sebuah surat cinta yang diselipkan di kotak pensil saya bertanda tangan Ardi. Antara geli dan panik sih, hahahaa.....masa saya ditaksir sama adik kelas. Sejak kejadian itu, setiap akan pergi ke kantin yang notabene pasti melewati kelas satu, Ardi bersama gengnya selalu menggoda saya. Bahkan ada satu hal yang membuat saya syok berat. Suatu hari ketika saya dan teman-teman melintasi kelas satu, seorang anggota geng Ardi berteriak, "Cieee sepatunya samaaa!" *jengjeeng dengan tetap sok cool saya melirik ke sepasang sepatu yang dipakai Ardi, dan ternyata sama *tutupan ember. FYI, itu sepatu baru dan hanya bisa didapatkan di toko tertentu. Lucunya lagi, karena rumah saya dan Ardi berada di komplek yang sama, kami sering main basket bersama dan dia selalu menunggu saya di depan rumahnya setiap akan berangkat sekolah. Hingga saya lewat dan dia berjalan di belakang saya sampai kami naik angkot yang sama. Karena saya banyak mengikuti ekstrakutikuler, saya pun sering pulang sore. Lucunya, dia mengikuti setiap ekstrakurikuler yang saya ikuti. Mulai dari PMR, Pramuka, Karya Ilmiah, hingga Mading, kecuali Paduan Suara karena memang tidak dibuka untuk umum, hehehe... Menginjak kelas tiga, Ardi masih setia menunggu saya di depan rumahnya setiap akan berangkat sekolah dan menunggu saya di depan gang depan komplek setiap pulang sekolah. Yah..karena kelas tiga saya mulai aktif mengikuti perlombaan bahasa inggris dan matematika, saya makin sering pulang maghrib. Herannya, anak itu yang seharusnya sudah pulang dari pukul empat sore, masih menunggu di depan gang lengkap dengan seragam sekolahnya. Antara ge-er dan heran sih. Jangan-jangan dia hobi nangkring di depan gang. Hahaaa....Cerita tentang Ardi tak berhenti di situ, karena setelah saya masuk ke SMA yang cukup dekat dengan rumah (keluar komplek, lewatin kampung sebelah, terus tinggal nyebrang udah nyampe), Ardi masih melakukan hal yang sama. Untuk mengetahui rasa keingintahuan saya tentang kebiasaan Ardi tersebut, saya pun merubah rute pulang sekolah lewat jalur lain. Esoknya, dia tetap mengikuti saya lewat jalur tersebut, padahal semakin jauh dari sekolahnya. Benar-benar lucu deh. Sempat merasa berdosa karena saya tak menanggapi suratnya, sih. Tapi masa-masa sekolah bagi saya adalah masa yang sangat produktif untuk menuntut ilmu, berkarya, nimbun piagam dan mengumpulkan piala. Hahahaaa..... Di penghujung waktu saya akan keluar kota untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, telepon rumah berdering hampir setiap waktu. Tak jelas siapa yang menelpon, hanya ada suara lagu Sheila on 7 "JAP" diputar.
Memasuki dunia perkuliahan, saya makin banyak bertemu dengan berondong. Entah kenapa sepertinya hanya adik angkatan yang tertarik dengan saya. Padahal ingin sekali merasakan menjalin hubungan dengan orang yang jauh lebih tua. Hingga akhirnya pacar pertama saya pun seorang berondong bernama Yogi (bukan nama sebenarnya). Kami dekat karena sama-sama menjadi aktifis di kampus. Berawal dari saya menjadi leader di acara penyambutan mahasiswa baru dan dia adalah salah satu panitia. Karena kami mewakili organisasi yang sama, setiap stres dan ada permasalahan saya selalu bercerita dengannya, dan dia ternyata adalah pendengar dan pemberi solusi yang baik. Bahkan saat ponsel saya rusak, Yogi rela meminjamkan ponselnya agar saya tetap lancar mengontrol acara, meskipun dia jadi sering susah dihubungi keluarga dan teman-temannya. Acara sukses, ternyata kedekatan kami berlanjut. Saya yang hanya menganggap dia teman, ternyata dia meminta lebih. Berhubung saya belum pernah pacaran sebelumnya, dan atas dasar rasa ingin tau bagaimana rasanya orang pacaran, saya pun menerimanya (setelah hampir seminggu). Jujur, saya underestimate terhadap para berondong, termasuk Yogi, sehingga saya merasa malu jika ketahuan berpacaran dengan adik angkatan. Sampai akhirnya dia marah dan saya mulai belajar mencintainya. Dan ternyata....anggapan saya salah. Karena tidak semua berondong itu selalu kekanak-kanakan dan tidak bisa bersifat dewasa. Berondong juga manusia, egois itu pasti akan datang pada waktunya. Justru menjalin hubungan dengan berondong bisa membawa kita menjadi pribadi yang lebih santai dan merasa muda kembali.
Tulisan ini saya tujukan kepada teman-teman yang masih menganggap bahwa pasangan yang lebih muda tidak bisa diajak berkompromi dan hanya menyusahkan. Karena akhir-akhir ini saya banyak mendengar orang menganggap semua berondong itu tidak bisa diajak serius dan melelahkan karena kita yang harus ngemong. Bahkan ada beberapa teman yang sampai bilang "Saya nggak mau sama berondong, mending yang lebih tua, bisa ngemong dan lebih dewasa." Kalo saya perhatikan, seiring perkembangan jaman, usia tua belum tentu dewasa dan usia muda belum tentu childish. Semua tergantung kepribadian dan pola pikir yang terdapat pada masing-masing orang. Tak sedikit juga lho pria atau wanita yang umurnya setara atau bahkan jauh lebih tua tapi pola pikirnya masih childish. Jadi, jangan keburu meng-underestimate berondong yah. Karena tidak semua berondong itu sama. Hahaaaa.....good luck, guys!
aku tertarik dgn pernyataan dan kenyataan tentang usia itu tidak berbanding lurus dengan kematangan jiwa (mental dan pikiran), di zaman sekarang ini ternyata kematangan psikis dan fisik tidak ditentukan oleh usia,karena yg lbh dominan dalam pembentukan karakter dan kedewwasaan sesorang dipengaruhi latar belakang hidup dimana dia tumbuh dan kembang serta seberapa besar persoalan2 hidup yg dia pernah hadapi dan atasi...sebenarnya banyak hal/tolok ukur yg menentukan kematangan dan kedewasaan seseorang...intinya biasanya semakin sering seseorang mengalami benturan2 persoalan hidup akan membuat dia semakin matang dan dewasa...
BalasHapusSuper sekali sodara.... :D
HapusBenar sekali. Saya menjadi pengamat sosial dan belajar banyak dari apa yang dialami oleh beberapa teman. Kalau diperhatikan, justru orang-orang yang banyak mengalami benturan dalam hidupnya akan menjadi lebih cepat dewasa dalam hidup. Memang sih, mereka akan melewatkan fase 'main-main' dan terlalu cepat dewasa, tetapi justru itulah yang menjadi kelebihan untuk mereka. Thank you buat atensinya. Salam kenal dan boleh lho main-main ke tulisan saya yang lain :D