Melihat dari kondisi teman-teman yang belum kunjung mendapatkan jodoh, saya jadi punya persepsi tersendiri. Karena sebagian besar teman yang belum mendapatkan pasangan di usia matang justru adalah wanita-wanita yang sukses dalam kariernya dan cenderung independen. Kalau dilihat-lihat, tak ada yang salah dengan mereka. Wajah manis, perilaku ramah, karier bagus, bahkan berjiwa sosial tinggi. Jika saya terlahir sebagai seorang pria, mungkin saya sudah langsung melakukan pendekatan, karena menurut saya mereka adalah calon ibu yang baik bagi anak-anak saya kelak. Tetapi saya adalah wanita, yang juga terjerumus dalam fenomena jomblo.
Dari hasil obrolan dengan beberapa teman pria, saya menarik kesimpulan ada dua macam karakter pria. Karakter pertama adalah pria yang cenderung tak berani mendekati seorang wanita yang kesuksesannya melampaui pasangannya, karena mereka merasa malu, dan memilih untuk mencari wanita lain yang masih di bawahnya. Karakter kedua adalah pria yang akan berjuang menjadi sukses dahulu, baru mendekati wanita tersebut. Jenis pria ini menganggap wanita yang ia cintai sebagai pemantik semangat untuk bekerja keras. Sayangnya, dari 5 teman pria, hanya satu orang yang masuk ke dalam kategori dua, selebihnya adalah penganut pria dengan karakter satu.
Padahal, wanita jaman sekarang sebenarnya berpikiran maju ke depan. Mereka tidak ingin menyusahkan suaminya kelak dan ingin membahagiakan anak-anaknya nanti, maka mereka bekerja keras dan merintis karier demi masa depan yang cerah. Beberapa wanita mungkin merasa ada kekahawatiran dengan pernikahan yang tidak langgeng, oleh sebab itu mereka mempertahankan karier, agar kalau ada sesuatu yang tidak diharapkan terjadi di pernikahan mereka, masih ada harapan untuk membesarkan anak-anak yang terlanjur dilahirkan.
Tapi kalau boleh berpendapat ya, wanita sebenarnya tidak terlalu memikirkan harus mendapatkan pasangan yang kesuksesannya harus di atasnya. Mereka mau-mau saja kok menjalin hubungan percintaan dengan lelaki yang tingkat kariernya di bawah mereka. Seorang Manajer marketing wanita jika sudah jatuh cinta dengan stafnya bisa saja terjalin hubungan. Untuk urusan satu ini saya setuju jika wanita disebut lebih menggunakan perasaan ketimbang logikanya. So, bagi kalian para pria jangan takut untuk mendekati wanita-wanita perkasa itu. Karena justru mereka adalah wanita yang bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga kecil kalian. Mereka tidak akan merengek-rengek dan bermanja-manja jika memang bukan waktunya, dan mereka tidak akan menyusahkan jika kalian sedang sibuk, karena mereka terbiasa mandiri.
Jumat, 28 Desember 2012
Kamis, 20 Desember 2012
History Trip: Terowongan Lampegan, Gunung Padang, Curug Cikondang Cianjur
Pada 25 November lalu, saya bersama komunitas Dolan (Doyan Jalan) berangkat ke Cianjur untuk mengeksplor Terowongan Lampegan, Situs Megalithikum Gunung Padang, dan Curug Cikondang. Jujur saja, saya paling ngebet ikutan trip yang berhubungan dengan budaya dan edukasi. Jadi tak pikir panjang saya langsung saja bilang ke penanggungjawab dari Dolan, namanya Arman, bahwa saya fix ikut. Tapi berhubung dompet belum mendukung, saya minta waktu untuk membayar biaya trip setelah gajian. Hahaha.....
Pada harinya, saya berangkat bersama seorang teman yang berasal dari Bogor, yaitu Rahma. Karena meeting point yang disampaikan adalah pukul 06.00 WIB, maka Rahma memutuskan untuk menginap di gubuk saya pada malam hari sebelum keberangkatan. Esoknya, setelah berkumpul di halte UKI sebagai meeting point, kami pun berangkat bersama-sama naik elf. Sekitar 15 orang cukup memenuhi tempat duduk yang tersedia di dalam elf.
Sekitar hampir tiga jam perjalanan, akhirnya saya dan rombongan sampai di obyek pertama, yaitu Terowongan Lampegan. Nama Lampegan sendiri berasal dari bahasa Belanda. Dahulu kala, setiap kali ada kereta yang akan masuk ke dalam terowongan ini, kondektur selalu meneriakkan "Steek lampen aan!" yang berarti "Nyalakan lampu!" dan di telinga oragn Sunda terdengar seperti 'lampegan'. Terowongan yang dibangun tahun 1879 hingga 1882 ini masuk dalam kawasan Cagar Budaya yang menjadi tujuan utama kunjungan wisatawan karena nilai sejarahnya. Terowongan sepanjang 686 meter ini adalah salah satu terowongan jalan kereta api tertua yang pernah dibangun pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, yaitu SS (Staats Spoorwegen). Tetapi karena kejadian longsor di 2001, stasiun ini kini panjangnya menjadi 415 meter. Pada jaman dahulu, trayek kereta api yang sebelumnya berangkat dari stasiun Ciroyom (Bandung) dan Lampegan (Cianjur), sekarang hanya dimulai dari stasiun Padalarang (Bandung Barat) sampai stasiun Cikidang (Cianjur). Perubahan trayek ini terjadi setelah peristiwa tanah longsor di dua belas titik jalur Argo Peuyeum yang menyinggahi stasiun kecil, termasuk Lampegan. Kondisi terowongan ini sendiri bangunannya masih seperti saat kembali dibangun dan sudah direnovasi pada 2009 tetapi memang belum dioperasikan. Sampai di terowongan, perut saya terasa lapar sekali. Maka dari itu, saya dan beberapa teman memutuskan untuk makan dahulu. Sedangkan teman-teman yang lain langsung menyusuri terowongan.
Perut kenyang, saya pun siap memasuki terowongan. Saat itu saya bersama dengan Rahma, Nana, dan Wiwie. Tapi berhubung Wiwie dan Ratna lumayan lama berfoto-foto, dan waktu untuk main-main di terowongan ini hanya sebentar, saya dan Rahma memutuskan untuk masuk duluan. Di mulut terowongan, saya masih santai berjalan, karena masih mendapatkan sinar matahari. Tetapi semakin jauh melangkah, terowongan semakin gelap hingga saya tak bisa melihat apa-apa. Yah....bisa dibilang jalan udah nggak pakai mata, tapi pake feeling aja dan sambil kaki meraba-raba tumpukan batu agar tidak tersandung.
Tak lama, akhirnya saya dan Rahma melihat ada cahaya, dan ternyata kami sudah sampai di ujung terowongan. Di sana kami bertemu dengan teman-teman rombongan Dolan yang sudah duluan sampai. Tak perlu basa-basi, kami pun langsung saja nimbrung ke rombongan yang sedang berfoto bersama. Haha....nggak tau malu ya. Bodo amat deh :)))
Puas bermain-main di Terowongan Lampegan, kami pun melanjutkan perjalanan ke situs Gunung Padang. Perjalanan dari Lampegan ke Gunung Padang tidak jauh.Tidak sampai memakan waktu satu jam, sampailah kami di lkoasi wisata bersejarah ini. Karena kami Rahma belum 100 persen pulih, akhirnya saya yang sudah berjanji menemani dia pun beriringan menaiki tangga satu demi satu anak tangga yang cukup besar-besar dan tinggi. Jujur saja, saya juga lumayan bisa sekalian istirahat kalau Rahma minta berhenti.
Nah....berhubung sudah ada Arman dan Fitri yang menawarkan diri untuk membantu Rahma, saya nggak perlu rebutan dong, jadi saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan duluan menyusul Nana dan Choky. Awalnya saya sedikit parno karena Ari memberitahu medan anak tangga yang super jauh, dan saya tiba-tiba terbayang Baduy (aishhh.....). tapi ternyata tangganya tidak terlalu jauh, hanya cukup besar dan tinggi-tinggi, sehingga cukup melelahkan. Lega sampai di atas, Nana pun menyambut saya dan iseng langsung memotret ekspresi senang saya sudah berhasil sampai di puncak. Sial.......saya nggak sempat bergaya dulu. Tapi melihat batu-batu dan pemandangan yang oye, saya pun sumringah kembali.
Ketika kami sampai di Curug Cikondang, gerimis mulai turun. Satu-persatu dari kami mulai turun ke air terjun dan bermain air. Hal yang sangat disayangkan adalah air curug yang pada saat itu kurang jernih karena bercampur dengan material tanah ketika hujan turun.
Lelah bermain air di curug, perut pun terasa lapar dan kebetulan di curug tersebut berdiri satu-satunya warung. dindingnya terbuat dari kayu dan menjual berbagai macam makanan instan seperti mi atau kopi. Jadilah kami menghangatkan diri dengan duduk-duduk sambil menikmati semangkuk mi instan.
Usai makan kami pun memutuskan untuk keluar dari area curug. Di dekat gapura keluar, kami menumpang mandi dan berganti baju di salah satu rumah penduduk. Overall, meskipun one day trip, pengalaman yang saya dapatkan bersama teman-teman Doyan Jalan pastinya lebih dari cukup. See you on next trip, guys!
Pada harinya, saya berangkat bersama seorang teman yang berasal dari Bogor, yaitu Rahma. Karena meeting point yang disampaikan adalah pukul 06.00 WIB, maka Rahma memutuskan untuk menginap di gubuk saya pada malam hari sebelum keberangkatan. Esoknya, setelah berkumpul di halte UKI sebagai meeting point, kami pun berangkat bersama-sama naik elf. Sekitar 15 orang cukup memenuhi tempat duduk yang tersedia di dalam elf.
Suasana di dalam elf. (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Panitianya Ari (kiri) dan Arman (kanan) kecapean nih. (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Sekitar hampir tiga jam perjalanan, akhirnya saya dan rombongan sampai di obyek pertama, yaitu Terowongan Lampegan. Nama Lampegan sendiri berasal dari bahasa Belanda. Dahulu kala, setiap kali ada kereta yang akan masuk ke dalam terowongan ini, kondektur selalu meneriakkan "Steek lampen aan!" yang berarti "Nyalakan lampu!" dan di telinga oragn Sunda terdengar seperti 'lampegan'. Terowongan yang dibangun tahun 1879 hingga 1882 ini masuk dalam kawasan Cagar Budaya yang menjadi tujuan utama kunjungan wisatawan karena nilai sejarahnya. Terowongan sepanjang 686 meter ini adalah salah satu terowongan jalan kereta api tertua yang pernah dibangun pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, yaitu SS (Staats Spoorwegen). Tetapi karena kejadian longsor di 2001, stasiun ini kini panjangnya menjadi 415 meter. Pada jaman dahulu, trayek kereta api yang sebelumnya berangkat dari stasiun Ciroyom (Bandung) dan Lampegan (Cianjur), sekarang hanya dimulai dari stasiun Padalarang (Bandung Barat) sampai stasiun Cikidang (Cianjur). Perubahan trayek ini terjadi setelah peristiwa tanah longsor di dua belas titik jalur Argo Peuyeum yang menyinggahi stasiun kecil, termasuk Lampegan. Kondisi terowongan ini sendiri bangunannya masih seperti saat kembali dibangun dan sudah direnovasi pada 2009 tetapi memang belum dioperasikan. Sampai di terowongan, perut saya terasa lapar sekali. Maka dari itu, saya dan beberapa teman memutuskan untuk makan dahulu. Sedangkan teman-teman yang lain langsung menyusuri terowongan.
Rombongan yang kelaparan makan duluan. Ki-ka: Iqy, Imad, Wiwie, saya, Choky, Baih, dan Nana. (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Perut kenyang, saya pun siap memasuki terowongan. Saat itu saya bersama dengan Rahma, Nana, dan Wiwie. Tapi berhubung Wiwie dan Ratna lumayan lama berfoto-foto, dan waktu untuk main-main di terowongan ini hanya sebentar, saya dan Rahma memutuskan untuk masuk duluan. Di mulut terowongan, saya masih santai berjalan, karena masih mendapatkan sinar matahari. Tetapi semakin jauh melangkah, terowongan semakin gelap hingga saya tak bisa melihat apa-apa. Yah....bisa dibilang jalan udah nggak pakai mata, tapi pake feeling aja dan sambil kaki meraba-raba tumpukan batu agar tidak tersandung.
Gelap abis ya? ~.~ (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Rombongan wanita Dolan. Ki-ka: Susi, Fitri, Wiwie, Nana, saya (atas), duwi (duduk), Baih, Eva, dan Rahma. (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Lihat deh mukanya Rahma (baju kuning). Hahahaaa...:)) (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Keren ya! (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Foto: Akun Facebook Joice Eva |
Foto bersama anak-anak Dolan. (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Foto di gerbang sebelum melanjutkan ke Curug Cikondang. (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Curug Cikondang. (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Saya (kiri) dan Eva (kanan). (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Ki-ka: Fitri, Susi, Wiwi, Rahma, Nana, dan saya. (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Ki-ka berdiri: Iqy, Nana, Rahma, Arman, Fitri, Imad. Ki-ka- duduk: Baih, Eva, Wiwi, saya, Susi. (Foto: Akun Facebook Joice Eva) |
Langganan:
Postingan (Atom)